Oleh
Unknown
Kamis, 01 Agustus 2013
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Langkahku terhenti di depan pintu bilik
utama, aku melihat suamiku sedang duduk di kursi rehat di dalam bilik
tidur kami itu. Kaku, Fakhry khusyuk membaca buku Aku Terima Nikahnya,
karya ustaz Hasrizal Abdul Jamil yang baru seminggu kubeli. Ajnabi itu
kini sah menjadi suamiku selepas ijab kabul dua hari yang lalu. Taaruf
yang diaturkan ibu bapanya dan ibu bapaku lah yang menyatukan kami. Ibu
memaksa aku menerima Muhammad Aleef Fakhry itu sebagai pasangan hidupku
walaupun aku tidak pernah mengenalinya selama ini, kata ibu, Fakhry
seorang yang alim dan kuat agamanya, jadi dia mampu menjadi Pemimpin
yang baik dalam melayari alam rumah tangga. Aku terpaksa merelakan diri
untuk menerimanya karena tidak mau durhaka kepada ibu.
Wajah
itu kupandang dari jauh secara senyap, wajah mulus itu memang tak jemu
dipandang. Ada sinar pada wajahnya yang membuat aku tak mampu berpaling
dari wajah itu. Sebelum ini aku jarang berkesempatan untuk menatap
wajahnya walau dari jauh karena sibuk dengan urusan perkawinan itu dan
melayani tamu yang tidak henti-henti berkunjung ke rumah. Saat ini, aku
sudah mengikuti suamiku pindah ke rumahnya yang memang tersedia sebelum
kami menikah, jadi hanya ada kami berdua saat itu di rumah dua tingkat
yang ditata ringkas. Dadaku berdebar, perasaanku seakan terusik, aku
segera mengalihkan pandangan. Dia suamiku, mengapa aku harus malu untuk
menatap wajahnya? tapi aku tidak pernah kenal dia selama ini…fikirku
sendirian.
“Maira…” suara itu lembut memanggil, menyadarkan aku
dari lamunanku. Wajah Fakhry kupandang semula walaupun mukaku sudah
merona merah menahan rasa malu yang mencengkam diriku.
“Ya
abang…” lambat-lambat aku membalas. Fakhry memandangku, tiada riak pada
wajahnya. Aku tak mampu menduga apa yang ada di fikirannya sekarang.
“Abang pinjam buku ini dulu ya,” lembut dia meminta. Aku mengangguk
perlahan, aku sudah khatam membaca buku itu sehari selepas kubeli lagi.
Tidak sabar menghabiskan naskah yang mengandungi pelbagai ilmu alam
rumah tangga, memandangkan saat itu aku juga bakal mendirikan rumah
tangga, aku ingin bersedia untuk menjadi seorang isteri. Fakhry khusyuk
membaca, aku melangkah menghampirinya lalu duduk berdekatan tempat
Fakhry duduk.
“Hmm, abang suka membaca?” aku bertanya,
mengambil peluang untuk mengenali insan yang baru pertama kali kukenali
dua minggu lepas, ketika sesi taaruf.
Perlahan dia memandang ke
arahku seraya mengangguk, duduknya dibetulkan. “Abang suka baca buku
kerohanian dan keagamaan. Buku ni pun menarik. Cara penyampaiannya mudah
difahami.”
Kami ibarat dua orang insan yang baru saja berkenalan.
Aku tersenyum. Aneh rasanya dapat berbual dengan suamiku itu walaupun
perbualan kami terasa sedikit kaku.
Hari ini, Fahkry mulai
bertugas kembali sebagai peguam syariah di bahagian syariah, Biro
Bantuan Guaman Putrajaya sedangkan aku pula masih bercuti dari kerjaku
sebagai ekskutif pentadbiran di salah sebuah syarikat korporat di ibu
negara. Aku menghulurkan tas komputer riba pada Fahkry, dia menyandang
tas itu di bahunya. Tangannya kucapai dan kukecup sebelum wajahnya
kupandang semula. Fahkry membalas pandanganku dengan riak yang gementar.
Perlahan-lahan, Fakhry mendekatkan dirinya padaku, tangannya merangkul
bahuku lantas dahiku dikecup lembut.Aku terkesima dengan tindakannya.
“Abang pergi dulu ya…”
Aku mengangguk perlahan lantas tersenyum. Ada rasa bahagia yang mulai menyerap dalam diri.
Jam sudah menunjukkan pukul lima petang. Aku termenung sendirian di
ruang tamu sambil menunggu Fahkry pulang dari kerja. Diriku kuhias
seadanya sesuai dengan tuntutan agama yang menuntut isteri berhias untuk
menyambut suami. Aku teringat kecupan lembut Fakhry pada dahiku pagi
tadi. Adakah aku sudah jatuh cinta? Aku memang patut jatuh cinta
padanya, suamiku.
Tapi Haikal, aku terdiam sendiri.
Terkenangkan Haikal Hakimi, teman sepejabatku, insan yang pernah
kucintai dulu. Aku tidak pernah meluahkan perasaanku pada Haikal tapi
hingga kini aku merasakan aku masih mencintainya. Ya Allah,
astaghfirullah haladzim, aku beristighfar, rasa berdosa karena
memikirkan insan lain saat aku sudah bersuami. Aku harus lupakan Haikal,
aku harus mencintai Aleef Fakhry karena dia suamiku. foto perkawinan
kami yang terletak elok di tepi meja segera kugapai, semua insan akan
merasa bahagia saat diijabkabulkan tapi aku, aku tidak pernah mengenali
Fakhry sebelum ini, bagaimana aku dapat merasakan kebahagiaan itu saat
diijabkabulkan dulu? Wajah itu kurenung, Fakhry memang tidak kalah dari
segi paras rupa walaupun dia berbeda dari Haikal dari segi
penampilannya, Haikal lebih kepada moden dan metroseksual sedangkan
Fakhry lebih kepada gaya seorang ustadz. Aku harus bersyukur karena
memiliki seorang suami yang soleh, aku mengingatkan diri sendiri.
“Maira rindukan abang ?”, Fakhry sudah berdiri tercegat di depan ku,
entah sejak bila. Aku terkejut, foto perkahwinan kami segera kuletakkan
di posisi asal. Aku segera bangun dari dudukku.
“Abang dah balik?,” tangannya kugapai dan kukecup.
“Assalammualaikum…” ucap Fakhry memberi salam. Aku membalas perlahan. “Waalaikumussalam…”
Fakhry menatap wajahku, sebelum tangannya merangkul bahuku. “Cantik
isteri abang hari ini…” dia memuji sambil tersenyum seraya memeluk
diriku.
“Abang bahagia dapat memiliki Humaira…”
Aku
terkejut mendengar ungkapan hatinya yang luhur, dia ikhlas mencintai aku
walaupun kami belum pernah berkenalan sebelum ini. Ya Allah, betapa
mulianya hati suamiku karena menerimaku seadanya. Aku tersenyum bahagia
lantas membalas pelukannya.
Suara iqamah yang dilaungkan Fakhry menusuk kalbuku. Sungguh indah suaranya menerjah gegendang telingaku.
“Allahu Akbar…” Fakhry mulai mengangkat takbir. Aku segera
mengikutinya, menjadi makmumnya pada solat Maghrib itu. Selesai salam
terakhir, Fakhry mulai berdoa.
“Ya Allah, semoga jodoh kami ini
adalah yang terbaik buat kami, cambahkanlah rasa cinta dalam diri kami
terhadapMu agar kami dapat mencintai sesama kami karena diriMu.
Berikanlah aku kekuatan untuk menjadi imam dalam rumahtangga ini dan
berikanlah Nur Ainna Humaira kekuatan untuk menjadi makmumku dalam
rumahtangga ini. Sesungguhnya Engkaulah yang telah menciptakan jodoh
kami dan Engkaulah yang mengetahui segala sesuatu, jadikanlah jodoh kami
ini berkekalan hingga ke syurga. Amin…”
Aku mengaminkan doa Fakhry, ada air jernih yang mulai menggenang di kelopak mataku, terharu mendengar doanya.
“Ya Allah, semoga jodohku akan kekal bersama insan yang mulia ini, Ya
Allah. Amin…” aku berdoa sendiri. Selesai sholat, kami sama-sama membaca
Al-Quran. Fakhry membimbingku dan membetulkan bacaanku itu sebelum kami
sama-sama menunaikan solat Isyak pula.
Malam itu aku sibuk
menggantung baju ke dalam almari. Menyusun almari itu supaya kelihatan
rapi. Tiba-tiba kurasakan ada orang yang memelukku dari belakang.
“Maira…” suara itu lembut menyapa telingaku.
Aku berpaling sedikit untuk memastikan insan itu suamiku. Ya, memang
Fakhry yang sedang memelukku saat itu. Aku tersenyum sendiri. Walaupun
Fakhry kelihatan kaku dan pendiam tetapi adakalanya dia menjadi romantik
bila bersamaku.
“Ya abang, kenapa?” tanyaku walaupun mukaku mula merona merah karena malu diperlakukan. Pelukan Fakhry padaku makin erat.
“Abang cintakan Humaira.” Kata-kata itu lancar keluar dari mulut
Fakhry. Dia yakin dengan perasaannya sedangkan aku. Adakah aku juga
mencintainya?
“Apakah Maira juga cinta abang ?” pertanyaan itu
bagai menjerut leherku. Aku sendiri belum pasti dengan perasaanku
walaupun ada rasa bahagia yang mula menyerap dalam kalbuku saat bersama
Fakhry.
Aku mengangguk perlahan. Mungkin benar ada cinta yang
kian bersarang buat Fakhry. Aku harus menumbuhkan rasa cinta ini buatnya
karena Fakhry ikhlas mencintai aku sedangkan aku tahu dia juga
dijodohkan oleh ibu bapanya denganku, bukan atas kerelaan hatinya
sendiri. Tapi kini aku dapat merasakan dia rela mencintai aku, seorang
ajnabi padanya suatu ketika dulu, hinggalah saat kami diijabkabulkan.
Aku harus mencintainya, aku tekad.
Fahkry membalikkan tubuhku lalu tanganku pegang dan dikecup.
“Terima kasih, sayang…” matanya mulai berkaca.
“Abang merasa bahagia.” Wajahku dikecup dari dahi turun ke kedua
pipiku, hingga akhirnya hinggap pada bibirku sebelum dia kembali
memelukku erat. Ya Allah, betapa bahagianya perasaan ini, apakah ini
cinta?
Pagi itu aku mula masuk kerja, suasana masih seperti
biasa. Ramai yang datang padaku mengucapkan tahniah. Aku merenung tempat
Haikal, dia tiada di tempatnya. Teman kerjaku berkata, sejak berita
perkawinanku tersebar, Haikal mulai berubah sikap, dia lebih banyak
berdiam dan mengasingkan diri dari teman kerja.
Aku mengatur
langkah ke pantry, ingin membasahkan tekak dan bersarapan ala kadar.
Biskuit di pantry bakal menjadi mangsa perutku, aku berfikir sendiri.
Saat melangkah masuk, aku melihat Haikal sedang minum di meja dalam
pantry itu. Aku mengambil beberapa keping biskuit dan mug yang berisi
air milo yang baru kubancuh lalu duduk mendekati Haikal.
Aku tersenyum pada Haikal namun senyumanku hanya dibalas dengan pandangan tajam.
“Mai bahagia sekarang?” pertanyaan yang keluar dari mulut Haikal
membuat aku terkejut. Wajahnya kupandang, Haikal kelihatan kusut, tidak
seperti Haikal yang biasa kukenali.
“Mai bahagia sekarang, Alhamdulillah, kenapa Haikal menanyakan hal ini?”
Haikal menghela nafas. “Sebab Haikal tak bahagia sejak Mai menikah… ”
Aku terdiam. dia tak bahagia? Aku tidak faham.
“Maksud Haikal?”
“Mai jangan Tanya seakan Mai tak tahu, selama ini Haikal mencintai
Mai…” Aku terpaku. Ya Allah, apakah ini benar? Insan yang pernah
kucintai dulu juga menyimpan rasa yang sama buatku. Namun aku takkan
mampu menjadi miliknya lagi karena kini aku hanya milik Aleef Fakhry.
Aku gelisah, tidak pasti bagaimana mau membalas pada Haikal.
“Maafkan Mai, maafkan Mai, Mai tak pernah tau bahwa yang Haikal cintai adalah Mai…”
“Tapi Mai cintakan Haikal juga kan?” pertanyaan Haikal itu ibarat belati yang menusuk jantungku.
“Mai akui, dulu Mai pernah suka Haikal, tapi kini hati Mai cuma milik
suami Mai.” Akut egas bersuara. Tidak mau Haikal salah faham lagi.
“Mai akan terima balasan karena mengecewakan Haikal…” Haikal memberikan amaran lantas berlalu keluar dari pantry.
Aku terkejut, selama ini aku tidak pernah meluahkan maupun menunjukkan
yang aku sukakan Haikal, bagaimana dia dapat mengetahui isi hatiku dulu.
Ya Allah, inikah dugaanMu buatku? Aku dan Haikal saling mencintai namun
aku hanya mengetahuinya saat aku sudah jadi milik Fakhry. Kini aku
dapat rasakan segala cintaku buat Haikal sudah lenyap, cintaku hanya
akan kuberikan pada Aleef Fakhry, suamiku. Tapi bagaimana dengan Haikal?
Dia seolahnya tidak mampu menerima kenyataan ini sedangkan sebelum aku
menikah, Haikal tidak pernah menunjukkan tanda yang dia sukakan aku,
cuma sikapnya padaku selama ini, memang baik, aku fikir, dia sikapnya
kepada semua orang memang baik, mungkin sangkaanku selama ini salah. Ya
Allah, apakah yang Haikal akan lakukan padaku? Ya Allah, lindungilah aku
dari segala kejahatan.
Petang itu, aku bergegas untuk pulang,
aku segera melintas jalan untuk ke tempat mobilku diparkir, ketika
tiba-tiba suatu suara memanggilku.
“Maira!” hanya suamiku
memanggilku seperti itu, aku terfikir sebelum menoleh. Aku dapat rasakan
tubuhku ditolak ke tepi, ketika itu juga sebuah mobil BMW meluncur laju
menghantam sekujur tubuh lalu tubuh itu melayang di tengah jalan.
“Ya Allah!” aku menjerit ketika aku tersedar suamiku sudah ditabrak
mobil. Aku merangkul Fakhry dalam pelukanku, darah mulai membuak keluar
dari luka ditubuhnya, air mataku tak henti merembes dari pipi.
Teriakanku keras, aku tak mampu menahan emosi lagi.
Fakhry tersenyum walaupun dia sekarat. Wajahku diusap lembut.
“Abang mencintai Humaira selamanya.” Kata-kata itu diucapkan sebelum perlahan mata itu tertutup.
“Abang!” aku menjerit sekeras-kerasnya.
“tersangka yang menabrak suami puan telah dikenal pasti sebagai Haikal
Hakimi Abdul Halim. Motif penabrakan diklasifikasi sebagai dendam, kami
sudah dapat menangkap tersangka, tindakan undang-undang akan dikenakan
terhadapnya.” Panjang lebar polisi berpangkat Sersan itu memberikan
keterangan. Aku hanya mengangguk perlahan, Haikal, ini rupanya balasan
yang dia maksudkan. Sanggup dia mau menabrak aku, dan akhirnya Fakhry
yang menjadi mangsa, aku terkejut. Karena Haikal, kini Fakhry koma di
ICU, aku hanya mampu berdoa agar Fakhry mampu membuka mata semula suatu
hari nanti.
Sebulan sudah berlalu, Fakhry masih terbaring. Aku
setia duduk di sisinya sambil membacakan surah Yassin. Air mataku
kubiarkan mengalir perlahan di pipi. Tak mampu aku menyeka air mata itu
lagi. Selesai membaca surah Yassin, tangan Fakhry kugapai dan kugenggam.
“Abang…” aku memanggil lembut.
“Maira tahu abang bias dengar kata-kata Maira, bangunlah bang. Maira
rindukan abang. Maira akui, waktu awal kita menikah dulu, tak ada
sedikitpun perasaan cinta Maira pada abang. Maira tak pernah kenal abang
sebelum ini, susah untuk Maira tumbuhkan rasa cinta ini untuk abang.
Tapi Maira terharu, karena abang tak pernah putus asa untuk mendapatkan
hati Maira dan mencintai Maira seikhlas hati abang. Sekarang abang,
bangunlah dan saksikan yang abang dah lakukan, sekarang Maira akui, yang
Maira cinta abang sepenuh hati Maira.” Aku meluapkan isi hatiku yang
tersimpan selama ini. Air mata yang merembes kubiarkan saja.
Tiba-tiba tangan Fakhry menggenggam erat tanganku yang sedang memegang tangannya. Matanya perlahan-lahan dibuka.
“Terima kasih sayang…” Fakhry berbicara perlahan dan lemah. Aku
terkesima, Fakhry sudah tersedar, aku menjerit dalam hati. Aku tersenyum
dalam tangisan yang masih bersisa.
“Dokter!” aku memanggil doktor namun tangan Fakhry menarik tanganku dan merangkulku dalam pelukannya.
“Abang dah sehat mendengar kata-kata Maira.”
Aku tersenyum malu. Perlahan dia melepaskan rangkulannya padaku dan
mulai menatap wajahku. Air mata yang masih bersisa di pipiku perlahan
diseka dan wajahku didekatkan ke wajahnya lantas dikecup perlahan.
“Abang rindu menatap wajah Humaira. Abang tak suka melihat wajah Maira
yang sedih menyambut abang.” Aku tersenyum mendengar kata-kata itu.
Wajah Fakhry kukecup lembut, melepaskan kerinduan.
” Maira cinta abang.”Fakhry yang terkesima melihat aku mulai tersenyum.
“Abang pun cinta Maira lebih dari Maira cintai abang.” Fakhry
merangkulku semula dalam pelukannya. Rasa bahagia mulai mengisi hatiku.
Sesungguhnya dia imamku, izinkan aku menjadi makmumnya. Aku tercipta
dari rusuk kirinya agar dia dapat menyayangi dan melindungiku. Akan
kuserahkan cinta ini buat insan yang mencintaiku ikhlas karena Allah,
semoga jodoh kami kekal hingga ke syurga. Terima kasih Ya Allah karena
memberikan jodoh yang terbaik buatku. Aku mencintaimu Muhammad Aleef
Fakhry…
*****
Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah ..
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...
Tag :
Islam
0 Komentar untuk "Dia IMAM KU"