Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Kutatap wajah isteriku tercinta yang sedang tertidur pulas. Terlihat jelas guratan rasa lelah diwajahnya.
Yaa, memang isteri sering bercerita betapa akhir-akhir ini dia merasa begitu letih. Perjalanan menuju lokasi kerja di bilangan Depok yang memakan waktu cukup lama. Belum lagi bila tiba dikantornya sudah banyak nasabah yang datang, meskipun jam layanan belum dibuka. Maka tak jarang isteriku memajukan aktifitas pekerjaannya.
Jika ternyata antrian nasabah terus berlanjut sampai siang atau bahkan sore hari, maka selama ini pula isteriku tak merasakan nikmatnya ‘kunyahan nasi atau sekedar cemilan sekalipun’. Isteriku memang bekerja di jasa pelayanan bidang keuangan.
Kebetulan dia memiliki posisi yang strategis. Maka tanggung jawabnya begitu besar terhadap layanan dan kepuasan nasabah.
Tak terasa air mataku berlinang kecil membasahi pipi. Rasa sayangku kepada isteriku bertambah besar. Ingin rasanya aku memeluknya dengan erat serta mengucapkan kata cinta yang tulus dan sepenuh hati. Namun niat itu ku-urungkan, khawatir hal itu justru akan mengagetkan atau mengurangi waktu istirahatnya.
Pikiranku menerawang pada peristiwa tadi siang, 11.02.2007. Sambil berbisik Isteriku mengajakku ke dalam kamar. Hatiku dagdigdug. Ada apa? Mengapa harus didalam kamar? Biasanya ini dilakukan isteriku bila ada sesuatu yang penting.
“Bi, anting umi dilepas ya? Mang Dudung mau pinjem duit/uang. Kita ‘gak ada persediaan. Atau kita pake aja uang yang lain?” Tanya isteriku pelan sambil menyebut satu rekg khusus penampungan. (isteriku memang membuka rekg penampungan untuk kebutuhan sosial)
Aku terperanjat, terkejut bagai diserempet Bus Way atau mobil BMW. Aku tidak memikirkan tentang tamu yang akan meminjam uang pada kami. Apalagi tamu tersebut masih saudara kami juga.
Yang kupikirkan adalah anting yang melekat di telinga isteriku. Anting itu merupakan perhiasan milik kami satu-satunya. Karena aku belum mampu membelikan perhiasan lain seperti gelang ataupun kalung. Bahkan anting itu, yang hanya seberat 2 gram saja, juga hasil jerih payah isteriku sendiri.
Hatiku sedih. Sedih karena belum bisa membahagiakan isteriku tercinta dari sudut pandang materi. Bahkan tidak bisa untuk sekelas anting sekalipun. Masya’ Allah.
Namun terbetik perasaan bahagia, betapa isteriku masih meninggikan derajatku sebagai suaminya. Dia masih meminta ijin aku untuk melepas anting itu demi menolong orang lain. Padahal sejujurnya kamipun masih kelimpungan dalam urusan keuangan.
Hatiku Bahagia, ternyata isteriku bukan hanya cantik parasnya tapi juga cantik sifatnya. Subhanallah. Engkau telah memberikan hamba Isteri yang sholihah Ya Rabb.
“Umi, kalo umi rela silakan umi lepas anting itu. Tapi kalo umi masih mau memakainya abi serahkan semuanya sama umi. Kalo uang ‘Baitul Maal’ jangan” jawabku lirih sambil berusaha menahan sedih ...
“Umi gak apa-apa bi ….” Kata isteriku sambil tersenyum manies, sehingga wajahnya menjadi lebih manies. Oh, ……
Anting satu-satunya perhiasan yang melekat pada diri isterikupun lepas sudah. Perhiasan kecil itu akan menghuni loket pegadaian. Perhiasan itu akan menjadi dana sosial isteriku guna membantu saudara kami yang lebih membutuhkan.
Isteriku maafkan aku. ..
Lalu ku lihat anak-anakku yang juga telah tertidur pulas ..
“Bi, katanya mau beli mobil/motor kayak Abi Osul” Kata anakku yang pertama (usia 5th) pada satu ketika setengah bertanya “Insya’ Allah ya” jawabku sambil senyum.
Lalu aku mengalihkan perhatian agar anakku tidak bertanya kembali.
“Anakku, maafkan Abi nak. Abi memang belum bisa memberikan materi. Tapi percayalah anakku, Allah SWT akan melihat ketulusan kita dan nilai ibadah kita” kataku dalam hati sambil mengecup kening kedua anaku
Lalu kuhampiri kembali isteriku tercinta. Ku kecup pula keningnya dengan penuh kasih sayang. Maafkan Abi ya umi. Abi mencintai umi karena Allah. Biar Allah yang akan membahagiakan kita. aamiin.
Aku terus berwudhu.
“Umi, engkau bagai bidadari yang hinggap direlung hati abi. Engkau bagaikan malaikat yang menjelma menjadi manusia dan menghiasi hari-hari bersama kami.
Umi, Engkau Seorang Kepala Cabang, namun tidak sedikitpun merasa risih pulang-pergi naik kendaraan umum, berdesak-desakan, makan dipinggiran jalan dan bahkan tinggal dipemukiman yang padat dan ‘maaf dilokasi kaum cilik” batinku
“Umi, dari lubuk hati yang paling dalam abi berdoa semoga apa yang umi lakukan dapat menjadi obat penawar bagi mereka yang sedang kesulitan. Umi, percayalah ANTA BUDALLAHA KAANAKUM TAROHU … WAILLANTAKUM TAROHU FAINNAHU YAROKA …”
“Umi, Benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW mengenai kehidupan keluarga beliau ‘BAITI JANNATI’, Rumahku adalah surga bagiku. Semoga kita dapat selalu mengikuti Sunnahnya. aamiin”
Wallahu’alam bishshawab, ..
0 Komentar untuk "MAAFKAN AKU, DUHAI ISTERIKU TERCINTA"